UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2006
TENTANG
SISTEM
PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa penyuluhan sebagai
bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan
umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia;
b. bahwa
pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan
suatu keharusan untuk memenuhi
kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan
kerja dan lapangan berusaha; meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya
petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan; mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan khususnya di perdesaan; meningkatkan pendapatan nasional; serta
menjaga kelestarian lingkungan;
c. bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan
kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta
berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku
pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu
sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam
melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan
berkelanjutan;
d. bahwa
untuk mewujudkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penyuluhan di bidang pertanian,
perikanan, dan kehutanan;
e. bahwa
pengaturan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan dewasa ini masih
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga belum dapat
memberikan dasar hukum yang kuat dan lengkap bagi penyelenggaraan penyuluhan
pertanian, perikanan, dan kehutanan;
f. bahwa
berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan;
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG UNDANG TENTANG SISTEM PENYULUHAN
PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan
yang selanjutnya disebut sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian
pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama
dan pelaku usaha melalui penyuluhan.
2.
Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang
selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama
serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses
informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya
untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
3.
Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh
kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan
jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang
sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan
manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat.
4.
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
5.
Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
6.
Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut
dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu dan berkelanjutan.
7.
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
8.
Pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan kehutanan
yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah
ikan, beserta keluarga intinya.
9.
Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah
penduduk yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memiliki kesatuan
komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan
dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
10. Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di
bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan
tumbuhan, di dalam dan di sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usaha tani,
agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang.
11. Pekebun adalah perorangan warga
negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha perkebunan.
12. Peternak adalah perorangan warga
negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan.
13. Nelayan adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang mata pencahariannya atau
kegiatan usahanya melakukan penangkapan ikan.
14. Pembudi daya
ikan adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha pembudidayaan ikan.
15. Pengolah ikan
adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha pengolahan ikan.
16. Pelaku usaha adalah
perorangan warga negara Indonesia atau korporasi
yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian,
perikanan, dan kehutanan.
17. Kelembagaan
petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah lembaga yang
ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk pelaku utama.
18. Penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau
penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya, yang selanjutnya
disebut penyuluh adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan
kegiatan penyuluhan.
19. Penyuluh pegawai
negeri sipil yang selanjutnya disebut
penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan
organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan
kegiatan penyuluhan.
20. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari
dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan.
21. Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang
berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya
sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.
22. Materi
penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh
kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi
informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum, dan
kelestarian lingkungan.
23. Programa
penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut
programa penyuluhan adalah rencana tertulis yang disusun secara sistematis
untuk memberikan arah dan pedoman sebagai alat pengendali pencapaian tujuan
penyuluhan.
24. Rekomendasi adalah pemberian persetujuan terhadap teknologi yang akan digunakan
sebagai materi penyuluhan.
25. Kelembagaan penyuluhan adalah lembaga
pemerintah dan/atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan
penyuluhan.
26. Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang selanjutnya
disebut Komisi Penyuluhan adalah kelembagaan independen yang dibentuk pada
tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri atas para pakar
dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang
penyuluhan atau pembangunan perdesaan.
27. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, menteri
yang bertanggung jawab di bidang perikanan, atau menteri yang bertanggung jawab
di bidang kehutanan.
28. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
29. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
30. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi,
manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama,
partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat.
Pasal 3
Tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi
pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu:
a.
memperkuat pengembangan pertanian, perikanan, serta kehutanan yang maju
dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan;
b.
memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam
peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan
motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan
pendampingan serta fasilitasi;
c.
memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya penyuluhan yang
produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi, partisipatif, terbuka,
berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan,
berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin terlaksananya
pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan;
d.
memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum bagi pelaku utama
dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh
dalam melaksanakan penyuluhan; dan
e.
mengembangkan sumber daya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai
pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Pasal 4
Fungsi sistem
penyuluhan meliputi:
a. memfasilitasi proses pembelajaran
pelaku utama dan pelaku usaha;
b.
mengupayakan kemudahan akses pelaku
utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya
agar mereka dapat mengembangkan usahanya;
c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan,
manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha;
d.
membantu pelaku utama dan pelaku
usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang
berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan
berkelanjutan;
e. membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang
dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha;
f.
menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha
terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan
g. melembagakan
nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju
dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
BAB III
SASARAN PENYULUHAN
Pasal 5
(1) Pihak yang paling berhak
memperoleh manfaat penyuluhan meliputi sasaran utama dan sasaran
antara.
(2) Sasaran utama penyuluhan
yaitu pelaku utama dan pelaku usaha.
(3) Sasaran antara penyuluhan
yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga
pemerhati pertanian, perikanan, dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh
masyarakat.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN
STRATEGI
Pasal 6
(1)
Kebijakan penyuluhan
ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
dengan memperhatikan asas dan tujuan sistem penyuluhan.
(2) Dalam menetapkan kebijakan
penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah
memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. penyuluhan dilaksanakan
secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan
kehutanan; dan
b. penyelenggaraan penyuluhan
dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai
mitra Pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun
bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada
tiap-tiap tingkat administrasi pemerintahan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Pasal 7
(1) Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan
orang dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuhkembangan dinamika
organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan peningkatan
kapasitas pelaku utama yang profesional.
(2) Dalam menyusun strategi
penyuluhan, Pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan kebijakan penyuluhan
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
dengan melibatkan pemangku kepentingan di bidang pertanian, perikanan, dan
kehutanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai strategi penyuluhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri, gubernur,
atau bupati/walikota.
BAB V
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Kelembagaan Penyuluhan
Pasal
8
(1) Kelembagaan penyuluhan
terdiri atas:
a. kelembagaan
penyuluhan pemerintah;
b. kelembagaan
penyuluhan swasta; dan
c. kelembagaan
penyuluhan swadaya.
(2) Kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a.
pada tingkat pusat
berbentuk badan yang menangani penyuluhan;
b.
pada tingkat
provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan;
c.
pada tingkat
kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan; dan
d.
pada tingkat
kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.
(3) Kelembagaan penyuluhan swasta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat dibentuk oleh pelaku usaha dengan memperhatikan kepentingan pelaku
utama serta pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan setempat.
(4) Kelembagaan
penyuluhan swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dibentuk
atas dasar kesepakatan antara pelaku utama dan pelaku usaha.
(5) Kelembagaan
penyuluhan pada tingkat desa/kelurahan berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan
yang bersifat nonstruktural.
Pasal 9
(1) Badan penyuluhan pada tingkat pusat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a mempunyai tugas:
a. menyusun
kebijakan nasional, programa penyuluhan nasional, standardisasi dan akreditasi
tenaga penyuluh, sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan;
b. menyelenggarakan pengembangan penyuluhan,
pangkalan data, pelayanan, dan jaringan informasi penyuluhan;
c. melaksanakan penyuluhan, koordinasi,
penyeliaan, pemantauan dan evaluasi, serta alokasi dan distribusi sumber daya
penyuluhan;
d. melaksanakan kerja sama penyuluhan nasional,
regional, dan internasional; dan
e. melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh
PNS, swadaya, dan swasta.
(2) Badan penyuluhan pada tingkat pusat
bertanggung jawab kepada menteri.
(3) Untuk melaksanakan koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, dan optimalisasi kinerja penyuluhan pada tingkat pusat,
diperlukan wadah koordinasi penyuluhan nasional nonstruktural yang
pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.
Pasal 10
(1) Untuk
menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan, menteri dibantu oleh
Komisi Penyuluhan Nasional.
(2) Komisi Penyuluhan
Nasional mempunyai tugas memberikan
masukan kepada menteri sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi
penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Komisi Penyuluhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
menteri.
Pasal 11
(1) Badan Koordinasi Penyuluhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b mempunyai tugas;
a. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi
lintas sektor, optimalisasi partisipasi, advokasi masyarakat dengan melibatkan
unsur pakar, dunia usaha, institusi terkait, perguruan tinggi, dan sasaran
penyuluhan;
b. menyusun
kebijakan dan programa penyuluhan provinsi yang sejalan dengan kebijakan dan
programa penyuluhan nasional;
c. memfasilitasi
pengembangan kelembagaan dan forum masyarakat bagi pelaku utama dan pelaku
usaha untuk mengembangkan usahanya dan memberikan umpan balik kepada pemerintah
daerah; dan
d. melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh
PNS, swadaya, dan swasta.
(2) Badan Koordinasi Penyuluhan pada tingkat provinsi
diketuai oleh gubernur.
(3) Untuk menunjang kegiatan Badan Koordinasi
Penyuluhan pada tingkat provinsi dibentuk sekretariat, yang dipimpin oleh
seorang pejabat setingkat eselon IIa, yang pembentukannya diatur lebih lanjut
dengan peraturan gubernur.
Pasal 12
(1) Untuk menetapkan kebijakan dan
strategi penyuluhan provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi
Penyuluhan Provinsi.
(2) Komisi Penyuluhan Provinsi bertugas memberikan masukan kepada gubernur
sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Komisi Penyuluhan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
gubernur.
Pasal 13
(1) Badan pelaksana penyuluhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c bertugas:
a. menyusun kebijakan dan programa penyuluhan
kabupaten/kota yang sejalan dengan kebijakan dan programa penyuluhan provinsi
dan nasional;
b. melaksanakan penyuluhan dan mengembangkan
mekanisme, tata kerja, dan metode penyuluhan;
c. melaksanakan pengumpulan, pengolahan,
pengemasan, dan penyebaran materi penyuluhan bagi pelaku utama dan pelaku
usaha;
d. melaksanakan pembinaan pengembangan kerja
sama, kemitraan, pengelolaan kelembagaan, ketenagaan, sarana dan prasarana,
serta pembiayaan penyuluhan;
e. menumbuhkembangkan dan memfasilitasi
kelembagaan dan forum kegiatan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; dan
f. melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh
PNS, swadaya, dan swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan.
(2) Badan pelaksana penyuluhan pada tingkat
kabupaten/kota dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II dan bertanggung jawab
kepada bupati/walikota, yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan
peraturan bupati/walikota.
Pasal 14
(1) Untuk menetapkan kebijakan dan
strategi penyuluhan kabupaten/kota, bupati/walikota dibantu oleh Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota.
(2) Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan masukan kepada
bupati/walikota sebagai bahan
penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan peraturan
bupati/walikota.
Pasal 15
(1) Balai Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf d mempunyai tugas:
a. menyusun programa penyuluhan pada tingkat
kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten/kota;
b. melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa
penyuluhan;
c. menyediakan dan menyebarkan informasi
teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar;
d. memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan
kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha;
e. memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh
PNS, penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara
berkelanjutan; dan
f. melaksanakan proses pembelajaran melalui
percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan pelaku
usaha.
(2) Balai Penyuluhan berfungsi sebagai tempat
pertemuan para penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha.
(3) Balai Penyuluhan bertanggung jawab kepada badan
pelaksana penyuluhan kabupaten/kota yang pembentukannya diatur lebih lanjut
dengan peraturan bupati/walikota.
Pasal 16
(1) Pos
penyuluhan desa/kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) merupakan
unit kerja nonstruktural yang dibentuk dan dikelola secara partisipatif oleh
pelaku utama.
(2) Pos penyuluhan
berfungsi sebagai tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama, dan pelaku
usaha untuk:
a. menyusun
programa penyuluhan;
b.
melaksanakan
penyuluhan di desa/kelurahan;
c. menginventarisasi permasalahan dan
upaya pemecahannya;
d. melaksanakan proses pembelajaran
melalui percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan
pelaku usaha;
e.
menumbuhkembangkan
kepemimpinan, kewirausahaan, serta kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha;
f.
melaksanakan
kegiatan rembug, pertemuan teknis, temu lapang, dan metode penyuluhan lain bagi
pelaku utama dan pelaku usaha;
g.
memfasilitasi layanan informasi,
konsultasi, pendidikan, serta pelatihan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; dan
h.
memfasilitasi forum penyuluhan
perdesaan.
Pasal 17
Kelembagaan penyuluhan swasta
dan/atau swadaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan huruf
c mempunyai tugas:
a.
menyusun perencanaan
penyuluhan yang terintegrasi dengan programa penyuluhan;
b.
melaksanakan pertemuan
dengan penyuluh dan pelaku utama sesuai dengan kebutuhan;
c.
membentuk forum,
jaringan, dan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha;
d.
melaksanakan kegiatan
rembug, pertemuan teknis, lokakarya lapangan, serta temu lapang pelaku utama
dan pelaku usaha;
e.
menjalin kemitraan
usaha dengan berbagai pihak dengan dasar saling menguntungkan;
f.
menumbuhkembangkan
kepemimpinan, kewirausahaan, serta kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha;
g.
menyampaikan
informasi dan teknologi usaha kepada sesama pelaku utama dan pelaku usaha;
h.
mengelola lembaga
pendidikan dan pelatihan pertanian, perikanan, dan kehutanan serta perdesaan
swadaya bagi pelaku utama dan pelaku usaha;
i.
melaksanakan proses
pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku
utama dan pelaku usaha;
j.
melaksanakan kajian
mandiri untuk pemecahan masalah dan pengembangan model usaha, pemberian umpan
balik, dan kajian teknologi; dan
k.
melakukan pemantauan pelaksanaan penyuluhan yang difasilitasi oleh pelaku
utama dan pelaku usaha.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan
penyuluhan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diatur dengan
peraturan presiden.
Bagian Kedua
Kelembagaan Pelaku Utama
Pasal 19
(1) Kelembagaan pelaku utama
beranggotakan petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah
ikan, serta masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku
utama, baik formal maupun nonformal.
(2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
fungsi sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia
sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,
serta unit jasa penunjang.
(3) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi.
(4) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difasilitasi dan diberdayakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah agar
tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan mandiri sehingga mampu
mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya.
BAB VI
TENAGA
PENYULUH
Pasal 20
(1) Penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan/atau penyuluh
swadaya.
(2) Pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS disesuaikan dengan kebutuhan dan
formasi yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Keberadaan penyuluh swasta dan
penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan
pelaku usaha.
Pasal 21
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS
melalui pendidikan dan pelatihan.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya.
(3)
Peningkatan kompetensi penyuluh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berpedoman pada standar, akreditasi, serta pola pendidikan dan
pelatihan penyuluh yang diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 22
(1)
Penyuluh PNS merupakan pejabat fungsional yang diatur berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Alih tugas penyuluh PNS hanya dapat dilakukan apabila diganti dengan
penyuluh PNS yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENYELENGGARAAN
Bagian Kesatu
Programa Penyuluhan
Pasal 23
(1) Programa penyuluhan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman, dan alat
pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan.
(2)
Programa penyuluhan terdiri atas programa penyuluhan desa/kelurahan atau
unit kerja lapangan, programa penyuluhan kecamatan, programa penyuluhan
kabupaten/kota, programa penyuluhan provinsi, dan programa penyuluhan nasional.
(3) Programa
penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan
keterpaduan dan kesinergian programa penyuluhan pada setiap tingkatan.
(4) Programa
penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disahkan oleh Kepala Balai
Penyuluhan, Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten/Kota, Ketua Badan
Koordinasi Penyuluhan Provinsi, atau Kepala Badan Penyuluhan sesuai dengan tingkat
administrasi pemerintahan.
(5) Programa penyuluhan desa/kelurahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diketahui oleh kepala desa/kelurahan.
Pasal 24
(1)
Programa penyuluhan disusun setiap tahun yang memuat rencana penyuluhan
tahun berikutnya dengan memperhatikan siklus anggaran masing-masing tingkatan
mencakup pengorganisasian dan pengelolaan sumber daya sebagai dasar pelaksanaan
penyuluhan.
(2)
Programa penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terukur,
realistis, bermanfaat, dan dapat dilaksanakan serta dilakukan secara
partisipatif, terpadu, transparan, demokratis, dan bertanggung gugat.
Pasal 25
Ketentuan mengenai pedoman penyusunan programa penyuluhan diatur dengan
peraturan menteri.
Bagian Kedua
Mekanisme Kerja dan Metode
Pasal 26
(1) Penyuluh menyusun dan melaksanakan rencana kerja tahunan berdasarkan
programa penyuluhan.
(2) Penyuluhan dilaksanakan dengan berpedoman pada programa penyuluhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25.
(3) Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif
melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta
kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai mekanisme kerja dan metode penyuluhan ditetapkan dengan
peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Bagian Ketiga
Materi Penyuluhan
Pasal 27
(1) Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku utama
dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumber daya
pertanian, perikanan, dan kehutanan.
(2)
Materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur
pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu
pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian
lingkungan.
Pasal 28
(1) Materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan
kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapat rekomendasi dari lembaga
pemerintah, kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.
(2) Lembaga pemerintah pemberi rekomendasi wajib mengeluarkan rekomendasi
segera setelah proses pengujian dan administrasi selesai.
(3) Teknologi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Peran Serta dan Kerja Sama
Pasal 29
Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta
pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.
Pasal 30
(1)
Kerja sama penyuluhan dapat
dilakukan antarkelembagaan penyuluhan, baik secara vertikal, horisontal, maupun
lintas sektoral.
(2)
Kerja sama penyuluhan antara kelembagaan penyuluhan nasional, regional,
dan/atau internasional dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari
menteri.
(3)
Penyuluh swasta dan penyuluh
swadaya dalam melaksanakan penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha
dapat berkoordinasi dengan penyuluh PNS.
BAB
VIII
SARANA
DAN PRASARANA
Pasal 31
(1) Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja penyuluh,
diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar penyuluhan dapat
diselenggarakan dengan efektif dan efisien.
(2)
Pemerintah, pemerintah daerah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan
kelembagaan penyuluhan swadaya menyediakan sarana dan prasarana penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya dapat memanfaatkan
sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sarana dan prasarana diatur
dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 32
(1)
Untuk menyelenggarakan penyuluhan yang efektif dan efisien diperlukan
tersedianya pembiayaan yang memadai untuk memenuhi biaya penyuluhan.
(2)
Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik
provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun
sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(3)
Pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional
dan profesi, biaya operasional penyuluh PNS, serta sarana dan prasarana
bersumber dari APBN, sedangkan pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan di
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa bersumber dari APBD yang jumlah
dan alokasinya disesuaikan dengan programa penyuluhan.
(4)
Jumlah tunjangan jabatan fungsional dan profesi penyuluh PNS sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada jenjang jabatan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Dalam hal penyuluhan yang diselenggarakan oleh penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya, pembiayaannya dapat dibantu oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan penyuluhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
(1)
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyuluhan yang
diselenggarakan, baik oleh pemerintah daerah maupun swasta atau swadaya.
(2)
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, serta
pembiayaan penyuluhan.
(3) Untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja
penyuluh, pemerintah memfasilitasi terbentuknya organisasi profesi dan kode
etik penyuluh.
(4) Setiap penyuluh yang menjadi anggota organisasi profesi tunduk
terhadap kode etik penyuluh.
(5) Organisasi profesi penyuluh berkewajiban melakukan pembinaan dan
pengawasan, termasuk memberikan pertimbangan terhadap anggotanya yang melakukan
pelanggaran kode etik.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 35
(1)
Setiap penyuluh
PNS yang melakukan penyuluhan dengan materi teknologi tertentu yang belum
mendapat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian dengan
memperhatikan pertimbangan dari organisasi profesi dan kode etik penyuluh.
(2)
Setiap pejabat
pemberi rekomendasi yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif berdasarkan
peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian.
(3)
Setiap penyuluh swasta yang melakukan penyuluhan dengan materi teknologi
tertentu yang belum mendapat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat sebagai
penyuluh dengan memperhatikan pertimbangan dari organisasi profesi dan kode
etik penyuluh.
(4) Setiap penyuluh swadaya yang melakukan penyuluhan dengan
materi teknologi tertentu yang belum mendapat rekomendasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
sertifikat sebagai penyuluh swadaya, kecuali materi teknologi yang bersumber
dari pengetahuan tradisional.
Pasal 36
Setiap orang
dan/atau kelembagaan penyuluhan yang melakukan penyuluhan dengan sengaja atau
karena kelalaiannya menimbulkan kerugian sosial ekonomi, lingkungan hidup,
dan/atau kesehatan masyarakat dipidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
37
(1) Penyelenggaraan penyuluhan yang telah dilaksanakan sebelum
Undang-Undang ini dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini tetap dapat
dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi waktu penyesuaian paling lama 1
(satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal
38
Kelembagaan penyelenggara penyuluhan pada tingkat pusat, yang telah ada
saat Undang-Undang ini diundangkan harus sudah disesuaikan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan di bidang penyuluhan dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 40
Peraturan pelaksanaan
Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 41
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
Pada
tanggal, 15 November 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal.................................…
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR ..................
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan beserta Penjelasannya
telah mendapat Persetujuan dalam Rapat Paripurna ke-9 Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2006 untuk disahkan menjadi
Undang-Undang.
Jakarta, 18
Oktober 2006
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
WAKIL KETUA,
DRS. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2006
TENTANG
SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bertujuan antara lain mewujudkan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Indonesia
sebagai negara agraris dan bahari memiliki hutan tropis terbesar ketiga di
dunia dengan keragaman hayati yang sangat tinggi. Hal itu merupakan modal dasar
yang sangat penting dalam meningkatkan perekonomian nasional karena telah
terbukti dan teruji bahwa pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada
tahun 1998, bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu memberikan
kontribusi yang signifikan pada produk domestik bruto nasional. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
sumber daya alam hayati, tanah yang subur, iklim yang sesuai sehingga bidang
pertanian, perikanan, dan kehutanan dapat menjadi tulang punggung perekonomian
nasional.
Petani, pekebun, peternak,
nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan hutan merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sehingga perlu
ditingkatkan kesejahteraan dan kecerdasannya. Salah satu upaya peningkatan
tersebut dilaksanakan melalui kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan
pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan proses pembelajaran bagi pelaku
utama agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam
mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan,
dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Untuk
mengantisipasi perubahan lingkungan strategis yang berkembang pada abad 21
dengan isu globalisasi, desentralisasi, demokratisasi, dan pembangunan
berkelanjutan, diperlukan sumber daya manusia yang andal untuk mewujudkan pertanian,
perikanan, dan kehutanan yang tangguh, produktif, efisien, dan berdaya saing sehingga
dapat menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Untuk
menjawab perubahan lingkungan strategis diperlukan upaya revitalisasi
pertanian, perikanan, dan kehutanan. Revitalisasi tersebut akan berhasil jika didukung
antara lain oleh adanya sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Sistem
penyuluhan selama ini belum didukung oleh peraturan perundang-undangan yang
kuat dan lengkap sehingga kurang memberikan jaminan kepastian hukum serta
keadilan bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh. Kondisi tersebut
menimbulkan perbedaan pemahaman dan pelaksanaan di kalangan masyarakat. Di
samping itu, adanya perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan
penyuluhan yang demikian cepat telah melemahkan semangat dan kinerja para
penyuluh sehingga dapat menggoyahkan ketahanan pangan dan menghambat
pengembangan perekonomian nasional.
Undang-undang yang ada selama ini masih bersifat parsial dan belum
mengatur sistem penyuluhan secara jelas, tegas, dan lengkap. Hal tersebut dapat
dilihat dalam undang-undang sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;
4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan;
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
8. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian dan
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
11. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Atas
dasar pertimbangan tersebut, Undang-Undang ini mengatur sistem penyuluhan
pertanian, perikanan, dan kehutanan secara holistik dan komprehensif dalam
suatu pengaturan yang terpadu, serasi antara penyuluhan yang diselenggarakan
oleh kelembagaan penyuluhan pemerintah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan
kelembagaan penyuluhan swadaya kepada pelaku utama dan pelaku usaha.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan ‘‘penyuluhan berasaskan demokrasi” yaitu penyuluhan yang diselenggarakan dengan saling
menghormati pendapat antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan pelaku utama
serta pelaku usaha lainnya.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan manfaat” yaitu penyuluhan yang harus memberikan nilai manfaat bagi peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku untuk meningkatkan
produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan kesetaraan” yaitu hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha yang harus
merupakan mitra sejajar.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keterpaduan” yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan secara terpadu antar
kepentingan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keseimbangan” yaitu setiap penyelenggaraan penyuluhan harus memperhatikan keseimbangan antara
kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan masyarakat setempat,
pengarusutamaan gender, keseimbangan pemanfaatan sumber daya dan kelestarian
lingkungan, dan keseimbangan antar kawasan yang maju dengan kawasan yang
relatif masih tertinggal.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keterbukaan” yaitu penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh dan
pelaku utama serta pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan kerjasama” yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus diselenggarakan secara sinergis dalam
kegiatan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan serta sektor lain yang
merupakan tujuan bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan partisipatif” yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang melibatkan secara aktif pelaku utama dan
pelaku usaha dan penyuluh sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan kemitraan” yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip saling
menghargai, saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling membutuhkan
antara pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keberlanjutan” yaitu penyelenggaraan penyuluhan dengan upaya secara terus menerus dan
berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan, serta perilaku pelaku utama
dan pelaku usaha semakin baik dan sesuai dengan perkembangan sehingga
dapat terwujud kemandirian.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan berkeadilan” yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang memosisikan pelaku utama dan pelaku usaha berhak mendapatkan pelayanan
secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, serta kebutuhan pelaku
utama dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan pemerataan” yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus dapat dilaksanakan secara merata bagi
seluruh wilayah Republik Indonesia dan segenap lapisan pelaku utama dan pelaku
usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan bertanggung
gugat” yaitu bahwa evaluasi kinerja
penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan
dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai,
rasional, dan kegiatannya dapat dijadualkan.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “pengembangan sumber daya
manusia” antara lain peningkatan semangat, wawasan, kecerdasan, keterampilan,
serta ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membentuk kepribadian yang mandiri.
Yang dimaksud dengan “peningkatan modal
sosial” antara lain pembentukan kelompok, gabungan kelompok/asosiasi,
manajemen, kepemimpinan, akses modal, dan akses informasi.
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “terdesentralisasi” yaitu
bahwa penyelenggaraan penyuluhan
merupakan urusan rumah tangga desa atau unit kerja lapangan,
kabupaten/kota, dan provinsi.
Yang dimaksud dengan “partisipatif” yaitu bahwa
penyelenggaraan penyuluhan melibatkan pelaku utama mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai dengan evaluasi.
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” yaitu bahwa
penyelenggaraan penyuluhan dilakukan dengan prinsip transparansi sehingga dapat
diketahui oleh semua unsur yang terlibat.
Yang dimaksud dengan “keswadayaan” yaitu bahwa
penyelenggaraan penyuluhan dilakukan dengan mengutamakan kemampuan pelaku
penyuluhan sendiri.
Yang dimaksud dengan “kemitrasejajaran” yaitu bahwa
penyelenggaraan penyuluhan dilakukan berdasarkan atas kesetaraan kedudukan
antara penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “bertanggung gugat” yaitu bahwa
evaluasi
kinerja penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah
dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat
dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat dijadwalkan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Sasaran utama
penyuluhan pertanian meliputi petani, pekebun, peternak, baik individu maupun
kelompok, dan pelaku usaha lainnya.
Sasaran utama
penyuluhan perikanan meliputi nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, baik
individu maupun kelompok yang melakukan kegiatan perikanan.
Sasaran utama
penyuluhan kehutanan meliputi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan,
kelompok, atau individu masyarakat pengelola komoditas yang dihasilkan dari
kawasan hutan.
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan “generasi muda dan tokoh masyarakat”, yaitu generasi muda dan tokoh
masyarakat dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Pasal 6
Cukup
jelas.
Pasal 7
Cukup
jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Kelembagaan penyuluhan pada tingkat pusat adalah badan
yang menangani penyuluhan pada setiap
Departemen/Kementrian yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan dan
kehutanan.
Pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi
Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan
yang bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang bertanggung jawab kepada badan pelaksana
penyuluhan Kabupaten/Kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Pos
penyuluhan di perdesaan merupakan wadah penyuluh pegawai negeri sipil, penyuluh
swasta dan swadaya serta pelaku utama dan pelaku usaha di perdesaan sebagai
tempat berdiskusi, merencanakan, melaksanakan, dan memantau kegiatan penyuluhan.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan “Komisi Penyuluhan Nasional” yaitu kelembagaan independen sebagai mitra
kerja menteri dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan.
Keanggotaan Komisi Penyuluhan Nasional terdiri atas para pakar dan/atau
praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau
pembangunan perdesaan.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Pada tingkat provinsi dibentuk Badan Koordinasi Penyuluhan karena
sebagian besar kegiatan penyuluhan berada di kabupaten/kota, sedangkan di provinsi
badan itu lebih banyak bersifat koordinatif.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Pasal 12
Komisi Penyuluhan Provinsi merupakan kelembagaan
independen yang dibentuk oleh gubernur yang terdiri atas para pakar dan atau
praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian di bidang penyuluhan atau
pembangunan perdesaan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota merupakan kelembagaan
independen yang dibentuk oleh bupati/walikota yang terdiri atas para pakar dan/atau
praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian di bidang penyuluhan atau
pembangunan perdesaan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Kelembagaan pelaku utama dibentuk secara partisipatif
sesuai dengan kesepakatan di antara petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi
daya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan
pengangkatan penyuluh pegawai negeri sipil harus mendapat prioritas oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencukupi kebutuhan tenaga penyuluh
pegawai negeri sipil.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bersifat mandiri” yaitu tenaga penyuluh bekerja
atas kehendak diri sendiri atau atas biaya lembaga/pelaku usaha.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Penyuluh pegawai
negeri sipil memperoleh kesetaraan persyaratan, jenjang jabatan, tunjangan
jabatan fungsional, tunjangan profesi, dan usia pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Programa
penyuluhan desa atau unit kerja lapangan disusun oleh pelaku utama dan pelaku
usaha yang difasilitasi oleh penyuluh.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” yaitu bahwa programa penyuluhan
disusun dengan memperhatikan programa penyuluhan tingkat kecamatan, tingkat
kabupaten, tingkat provinsi, dan tingkat nasional, dengan berdasarkan kebutuhan
pelaku utama dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “kesinergian” yaitu bahwa hubungan antara programa
penyuluhan pada tiap tingkatan mempunyai hubungan yang bersifat saling
mendukung.
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar semua programa selaras dan tidak
bertentangan antara programa dalam berbagai tingkatan.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud “metode penyuluhan” antara
lain seminar, workshop, lokakarya, magang, studi
banding, temu lapang, temu teknologi, sarasehan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “teknologi” dapat berupa produk atau proses. Yang
dimaksud dengan “produk” antara lain bibit, benih, alat dan mesin, bahan,
pestisida, dan obat hewan/ikan. Yang dimaksud dengan “proses” yaitu paket
teknologi, misalnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT).
Yang dimaksud dengan “teknologi tertentu” yaitu teknologi yang diperkirakan
dapat merusak lingkungan hidup, mengganggu kesehatan dan ketentraman batin
masyarakat, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi pelaku utama, pelaku usaha,
dan masyarakat. Misalnya: teknologi rekayasa genetik, teknologi perbenihan dan
teknologi pengendalian hama penyakit.
Yang dimaksud dengan “teknologi yang bersumber dari pengetahuan
tradisional” yaitu produk atau proses yang ditemukan oleh masyarakat dan/atau
telah dimanfaatkan secara meluas sesuai dengan adat kebiasaan secara
turun-temurun.
Ayat (2)
Yang dimaksud
“lembaga pemerintah pemberi rekomendasi” adalah menteri atau pejabat yang
ditunjuk olehnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup
jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan “bekerja sama” yaitu kerja sama yang dimulai dari penyusunan rencana,
pelaksanaan sampai dengan pemantauan penyelenggaraan penyuluhan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ayat
ini dimaksudkan agar para penyuluh baik penyuluh pegawai negeri sipil, penyuluh
swasta, dan penyuluh swadaya dapat
saling memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Pengaturan mengenai
pembiayaan penyuluhan antara lain standar minimal biaya operasional, sumber
pembiayaan, serta alokasi dan distribusi biaya.
Standar minimal biaya
operasional meliputi:
a. perjalanan tetap;
b. biaya
perlengkapan (jas hujan, sepatu lapangan, dan pakaian kerja, soil test kit);
c. biaya percontohan dan demonstrasiplot (demplot);
d. biaya penyusunan materi penyuluhan;
e. biaya penyusunan rencana kerja.
Pasal 34
Cukup
jelas.
Pasal 35
Cukup
jelas.
Pasal 36
Cukup
jelas.
Pasal 37
Cukup
jelas.
Pasal 38
Cukup
jelas.
Pasal 39
Cukup
jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup
jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...........
Jakarta, 18 Oktober
2006
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
WAKIL KETUA,
DRS.
A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si